Perjalanan hidup episode ini membawa saya
ke Ende, sebuah kabupaten di Pulau Flores, Nusa Tenggara Timur. Liburan sekolah
tiba mulai 22 Desember 2011. Siswa libur maka saya sebagai guru pun libur.
Hehehe. Seusai penerimaan raport, membuatku ingin menghabiskan liburan di Kota
Ende saja ketimbang di desa penempatanku. Yach…sekalian menuntaskan jiwa
petualang dalam diri saya. Dengan kata lain, ingin jalan-jalan.
Ada 3 tempat yang saya kunjungi di
Kabupaten Ende.
Berkelana di
Pulau Ende
Tempat pertama
bernama Pulau Ende. Luasnya hampir sama dengan pulau nusa kambangan.Namun,
jangan bayangkan ini adalah pulau buangan tempat para residivis bermukim
seperti Pulau Nusa Kambangan. Pulau Ende ini lumayan banyak penghuninya. Dengan
menaiki kapal motor dari pelabuhan kota Ende, Pulau Ende bisa ditempuh dalam
waktu sekitar 60-100 menit tergantung kondisi lautan. Saya pergi dengan 14
orang teman. Hari itu, kami berangkat ke Pulau Ende jam 09.30 WITA. Kami
menaiki kapal motor dengan tarif murah, hanya 5000 rupiah per orang.
merapat ke pulau ende. we are coming! |
Satu setengah jam
kemudian, kami sampai di Pulau Ende. Memang sih, ini bukan pulau wisata. Kami
memang ingin sekedar jalan-jalan saja untuk menjawab rasa ingin tahu. Mumpung
sedang merantau di Ende, gunakan waktu untuk mengunjungi tempat-tempat yang tak
terduga sebelumnya. Uniknya, 100 % penduduk di pulau Ende ini adalah muslim.
Berbeda jauh dengan penduduk Kabupaten Ende di luar pulau yang 70% katolik.
Mayoritas rumah penduduk di Pulau Ende terbuat dari rumah kayu sederhana,
tetapi terlihat apik dan menawan dengan kesederhanaannya itu. Di sini gersang,
tidak ada toko, tidak ada jalan raya dan tidak ada SMA. Hanya ada 1 buah SMP di
pulau yang banyak penduduknya ini. Jalanannya hanya berupa gang-gang kecil
saja. Di spot-spot tertentu (pinggir pantai), sinyal telepon seluler kuat.
Sudah terdapat listrik PLN, tetapi hanya menyala setengah hari yaitu pada malam
hari saja. Pagi dan siang hari tanpa listrik.
Di pulau ini,
kami menyempatkan diri sebentar untuk melihat proses pembuatan kain tenun khas
ende.
Penduduk pulau
ende masih sering kesulitan air bersih. Kalau air pantai ya tentu saja banyak.
Hehehe. Air sumur terasa agak asin karena letaknya yang berdekatan dengan bibir
pantai. Cuaca di pulau ini sangat panas. Tentunya, banyak ‘pemandangan’ sekitar
yang unik bagi kami, membuat kami saling memandang dan akhirnya tertawa.
Misalnya, orang memakai masker (pupur) dan berjalan-jalan. Justru di sinilah
seninya. Menikmati pemandangan berupa kebiasaan di lingkungan baru adalah suatu
yang menarik bagi kami.
Supaya nggak
ketinggalan kapal motor, pukul 12.45 WITA kami beranjak dari Pulau Ende untuk
kembali menuju pelabuhan Kota Ende. Sesampainya di pelabuhan Kota Ende, kami
sudah lapar. Kami langsung capcus jalan kaki ke pasar untuk beli bakso atau
gado-gado. Sambil mengunyah bakso, aku terbayang pemandangan penduduk di Pulau
Ende. Mayoritas penduduk kurang mampu. Ah. Sekian puluh tahun Indonesia
merdeka, di tengah berjamurnya bangunan megah di perkotaan, nunj auh di sana
masih banyak masyarakat yang bertahan hidup dalam keterbatasan air, listrik
maupun fasilitas hidup lainnya.
Mengenang
Sejarah di Rumah Pengasingan Bung Karno
Tempat kedua yang
kukunjungi di Kabupaten Ende adalah rumah pengasingan Bung Karno.
Udara panas dan
matahari terik masih menyelimuti Kota Ende. Siang itu, saya menemani Dian
(rekan satu program) ke toko yang menjual buku pelajaran. Saya iseng bertanya
kepada yang jual buku, “ Pak, katanya di Kota Ende ada rumah pengasingan Bung
Karno. Itu di sebelaah mana ya?”
Dia menjawab,
“Ohhhh…itu dekat dari sini. 200 meter di belakang toko ini, Mbak.” (Dia orang
Jawa juga, jadinya manggil saya Mbak)
Wah, kebetulan
banget nih! Kuajak Dian jalan kaki ke rumah itu setelah kami pulang dari toko.
Cuaca masih sangat panas,membuat kami seperti mandi keringat. Mampir di rumah
pengasingan Bung Karno, kami seperti merasakan suasana sejarah di masa lampau.
Di rumah itu, ada peralatan makan, foto-foto dokumentasi, lukisan dan kamar
tidur Bung Karno. Tidak dikenakan tarif khusus untuk berkunjung kemari, cukup
mengisi kotak seikhlasnya saja. Setelah merasa cukup melihat-lihat, kami
memutuskan pulang ke kos teman naik ojek.
Pendakian Menuju Danau Kelimutu
Selanjutnya,
tempat ketiga yang kukunjungi adalah Danau Kelimutu. Di penghujung Desember
2011, saya dan teman-teman lain mengunjungi Danau Kelimutu. Berbekal iuran Rp.
50.000 per orang, kami menyewa 2 buah bus DAMRI kecil. Sekitar pukul 07.00
WITA, kami berangkat ke sana. Tidak lupa saya membawa kamera digital. Mungkin
hanya sekali seumur hidup saya berkunjung kemari. Sehingga berfoto adalah momen
penting yang sayang jika dilewatkan.
Perjalanan
dimulai dari jam 07.00 WITA, start dari Kota Ende. Sepanjang jalanan berliku,
berkelok dan naik turun. Sampai di lokasi sekitar jam 09.30 WITA. Harga tiket
masuk yang tertera di karcis adalah 2500 per orang. Nah, murah bukan?
Danau Kelimutu
tak lepas dari sejarah cerita di baliknya. Ada tiga danau beda warna yang
warnanya berubah-ubah menyesuaikan kondisi-kondisi tertentu. Ketiga danau itu
bernama danau Tiwu Ata Polo, Tiwu Nua Muri Koo Fai dan Tiwu Ata Mbupu. Untuk
menuju danau yang puncak, kami harus berjalan mendaki. Udara di kaki danau
relatif sejuk dan agak dingin. Berbeda dengan suhu udara di puncak yang sangat
panas dan tercium bau belerang. Bau belerang yang cukup menyengat membuat kami
terbatuk-batuk.
Waktu kami
datang, kami melihat danau berwarna hitam, biru muda dan hijau. It’s soooo
amazing. Sekitar pukul 12.30 WITA, kami memutuskan untuk kembali pulang ke Kota
Ende. Di parkiran banyak penjual kopi, teh, susu dan popmie. Harga secangkir
minuman 5000 rupiah, sedangkan seporsi popmie 7000 rupiah. Tidak mahal untuk
ukuran daerah wisata.
Sayonara Kelimutu
Lake!
Demikian cerita
perjalanan saya pada musim liburan anak sekolah. Sepertinya, masih ada
tempat-tempat lainnya yang akan saya kunjungi selama saya berada di tanah
perantauan ini.