Tahun 2012, saya berdomisili di Kabupaten Ende, Flores, NTT selama setahun. Sejarah kehidupan saya
yang beberapa kali berpindah tempat membuat saya menemukan khazanah keberagaman
dalam Indonesia. Keberagaman dan perbedaan yang ada di segala penjuru tanah air
ini tentunya melahirkan kelompok mayoritas dan minoritas yang tak dapat
dipungkiri lagi. Perbedaan yang ada bisa
ditinjau dari segi agama, budaya, suku, ras, dan status sosial.
Dalam
lingkup sehari-hari, kelompok mayoritas dan minoritas dapat dilihat dari
hubungan sosial dan pergaulan. Misalnya, seorang anak etnis A dikucilkan oleh
teman-temannya yang mayoritas etnis B. Perkelahian antar umat beragama sebagai
sebuah isu yang sensitif bisa juga terjadi jika tidak adanya toleransi. Ada
siswa di suatu sekolah yang dikucilkan hanya karena warna kulit dan fisiknya
berbeda dengan kebanyakan teman-temannya. Seseorang yang sejak kecil terbiasa
hidup di lingkungan yang heterogen biasanya akan lebih mampu menerima
perbedaan. Berbeda jika seseorang tidak pernah diajari tentang bagaimana
menyikapi keberagaman, ia hanya terkurung dalam pemikirannya tanpa mau membuka
hati terhadap sebuah perbedaan. Maka, ia akan cenderung sulit menerima orang
lain yang memiliki perbedaan latar belakang dengan dirinya.
Ketika
hidup di Lombok, saya dan kedua orang tua adalah kaum minoritas dari segi suku.
Dari segi agama, kami tetap masuk dalam golongan mayoritas. Selama tinggal di
Kabupaten Ende ini, tentulah saya adalah golongan orang minoritas dari segi suku dan agama. Jika biasanya yang
saya dengar adalah kaum mayoritas yang sering bersikap sewenang-wenang terhadap
kaum minoritas, tidak demikian dengan yang saya alami di sekolah penempatan
saya. Sebuah Sekolah Menengah Atas (SMA) di Kabupaten Ende.
Saya
memang masih minim pengetahuan agama. Namun, yang saya tahu, setiap agama di
Indonesia mengajarkan cinta kasih terhadap sesama. Itulah yang saya temukan di SMA
penempatan saya. Sekolah ini mengadakan evaluasi rutin setiap hari Sabtu seusai
kegiatan belajar mengajar (KBM). Terkadang rapat juga dilaksanakan pada
momen-momen tertentu.Setiap rapat selalu dibuka dengan doa dan ditutup dengan
doa. Setiap pagi sebelum KBM dan siang
usai KBM, selalu ada doa pagi dan doa siang. Begitu juga saat upacara bendera
setiap senin pagi, selalu ada sesi pembacaan doa. Doa yang dibawakan ini
bergantian antara doa agama Islam dan doa agama Katholik. Bapak Kepala Sekolah
menunjuk secara bergantian antara kedua agama tersebut.
Bahkan, saat bulan ramadhan, tidak ada
konsumsi snack dan minum saat rapat demi menghormati umat muslim yang berpuasa.
Padahal jumlah muslim di sekolah tidak banyak, hanya sekitar 25-30 % saja. Kelihatannya
cerita nyata ini memang sederhana. Namun, kesederhanaan itu sungguh membuat
saya semakin yakin bahwa perbedaan agama tidak seharusnya dijadikan penghalang
terciptanya kerukunan umat beragama. Kami yang beragama muslim tidak perlu
takut dengan menu masakan yang dimasak bersama oleh guru-guru wanita pada saat
acara-acara tertentu. Sekolah memutuskan tidak menyembelih daging babi atau
anjing. Bahkan, untuk urusan pemotongan ayam saja yang memotong adalah karyawan
yang beragama Islam, agar bisa dibacakan doa saat penyembelihan.
Toleransi beragama juga dapat terlihat dari
program yang ada di sekolah. Sekolah ini memiliki acara Natal Bersama dan Halal
Bi Halal bersama yang diikuti oleh segenap warga sekolah. Pada saat acara Natal
Bersama, sekolah mengundang tokoh agama Katholik untuk menjadi penceramah.
Begitu juga sebaliknya, saat acara Halal Bi Halal bersama, sekolah mengundang
tokoh agama Islam. Pada saat bulan puasa, ada acara pesantren kilat sehari dari
pagi sampai sore yang dilanjutkan dengan acara buka puasa bersama. Tidak
tanggung-tanggung, Bapak Kepala Sekolah membentuk panitia yang terdiri dari
guru-guru non muslim dalam kepanitiaan pesantren kilat. Acara-acara tersebut
berlangsung dengan lancar.
Acara Natal Bersama di sekolahku, diikuti oleh siswa dan guru katholik. Yang muslim hadir membantu |
Pesantren Kilat di sekolah |
Teringat
perkataan Bapak Camat Nangapanda dalam sambutannya di acara Halal Bi Halal di SMA penempatan saya pada 3 September 2012, “Acara ini sungguh menarik dan sebagai
bukti bahwa SMA ini sangat menghargai adanya keberagamaan agama. ”
Dari kata sambutan tersebut, saya bisa menyimpulkan bahwa Bapak Camat
pun setuju bahwa adanya toleransi beragama di sekolah ini adalah nyata.
memang seharusnya sudah seperti itu, kita saling bertoleransi walaupun banyak perbedaan diantara kita, semoga ini bisa jadi contoh ya kak. keren banget deh
BalasHapusyupz!
HapusTaqabbalallahu minna waminkum
BalasHapusSelamat Hari Raya Idul Fitri, 1 Syawal 1434 H.
Mohon Maaf lahir dan bathin
sama2 mbak..
HapusSebuah contoh yang perlu diteladani oleh sekolah2 lainnya.
BalasHapusTernyata toleransi memunculkan kerukunan dan kenyamanan dalam kehidupan sehari-hari.
Sebuah pengalaman yang sangat indah dan menyentuh.
alhamdulilah.
HapusHarusnya seperti itu, tp kata sama implementasi terkadang sangatlah jauh berbeda.
BalasHapusharapan dan kenyataan memang masih jauh berbeda ya kak.
HapusSeharusnya begitu, tapi kadang manusia suka bikin rumit hal sepele. Eh jgn2 saya juga tergolong yg suka rumit itu
BalasHapusnah...
Hapusmemang sudah seharusnya dan selayaknya sebagai manusia....
BalasHapussippp bisa terus ditingatkan dan dipertahankan...
:)
yach, semoga
HapusIni sebenarnya merupakan gambaran ideal dari hidup berdampingan secara damai. Gak enak jika hanya karena berbeda lalu jadi bermusuhan.
BalasHapusAh iya. Kerukunan antar agama itu indah deh mbak.
Hapussekolah negeri emang udah wajar ya bersikap demikian, tidak membedakan golongan. kalo di lamongan ada satu desa yang punya 4 agama sekaligus, tempat ibadah juga berdekatan. tp toleransi beragamanya patut dicontoh :)
BalasHapusnah bagus sekali kerukunan di desa lamongan itu mbak. tulis aja di blog ^___^
Hapusaku miris pas tau di suatu daerah bentrok agama terus :(
perbedaan akan selalu ada harus saling punya rasa toleransi ya
BalasHapus:')
HapusIndonesia gitu loh. Pasti saling menghargai.
BalasHapustidak semua tempat seperti itu :-D
Hapus