Berbicara
tentang sosok guru, banyak kenangan indah yang masih melekat di benak
saya. Ingatan tentang Bapak-Ibu guru
saat saya masih mengenyam pendidikan di bangku sekolah. Ketelatenan mereka
dalam menerangkan materi, kesabaran mereka saat membimbing saya lomba bidang
studi, hingga semangat mereka saat memotivasi murid-muridnya . Bagi saya, guru
merupakan sebuah profesi panggilan hati.
Akhirnya saya
bisa merasakan berada dalam posisi menjadi seorang guru. Semua berawal saat
saya menamatkan bangku kuliah S1 tahun 2011 dan memutuskan mengikuti SM-3T
angkatan I. Program ini diadakan oleh DIKTI KEMENDIKBUD yang bertujuan untuk
membantu mengatasi kekurangan guru di daerah Terluar, Tertinggal dan Terdepan
(3T) sekaligus menyiapkan calon guru profesional yang memiliki jiwa untuk mencerdaskan anak bangsa, mandiri,
tangguh dan peduli terhadap sesama.
Selama satu
tahun, peserta akan ditugaskan untuk berpartisipasi sebagai pendidik di daerah
3T. Tugas peserta tidak hanya menjadi
guru yang mengajar di sekolah, melainkan juga menjalankan tugas sosial
kemasyarakatan. Setelah setahun, penugasan akan dilanjutkan oleh peserta
angkatan berikutnya. Saya mendapatkan daerah penempatan di Kabupaten Ende, Nusa
Tenggara Timur untuk masa penugasan selama setahun mulai dari bulan Desember
2011.
Perjalanan dari Kota Ende menuju Nangapanda, lokasi penugasan saya |
Saya di lokasi penempatan |
Untuk menuju lokasi penempatan, saya cukup
menggunakan oto (bemo) dari kota Ende selama 1,5 jam saja. Bemo ini beroperasi
lancar setiap hari dari pagi hingga maghrib. Kontur jalanan dari kota Ende
menuju lokasi penempatan terbilang mudah ditempuh. Jalannya halus dan beraspal,
tetapi berliku, serta dihiasi tebing, jurang dan pantai di sisinya.
Tantangan Mengajar dan Kondisi Sekolah Penempatan
Saya di Daerah 3T
Indahnya mendapat sekolah yang posisi bagian depannya di pinggir jalan raya. Bagian belakang berbatasan dengan pantai. Di kelas bagian belakang, saya bisa menatap pantai dari jendela kelas. |
Suasana pembukaan Masa Orientasi Siswa (MOS), Juli 2012 |
Tidak ada
kesulitan transportasi untuk menuju lokasi penempatan saya yang memang
terhitung dekat dari kota Ende ini. Sedangkan banyak teman saya yang mendapat lokasi
penempatan sulit dijangkau. Misalnya haru menempuh perjalanan berjam-jam
menggunakan truk kayu dari kota Ende, jalanan yang rusak, belum ada listrik,
sulit air, atau harus menyebrang lautan. Apakah dengan mendapatkan lokasi
penempatan yang mudah ditempuh itu berarti miskin tantangan di dalamnya? Tidak.
Sebab, tantangan setiap lokasi penempatan pasti berbeda.
Pak Andre,
Kepala Sekolah di SMA tempat saya mengajar telah mampu memberi contoh sebagai
panutan bagi guru-guru dan siswa. Sejak diangkat menjadi kepala sekolah mulai
bulan Januari 2011, beliau banyak merancang program-program yang bermanfaat.
Dedikasi beliau sangat tinggi dalam memajukan pendidikan. Beliau adalah orang
yang disiplin dalam hal peraturan.
Banyak siswa
yang memiliki nilai rendah di sekolah saya. Di tahun 2010, sekolah penempatan
saya ini muridnya tidak lulus 100% Ujian Nasional. Namun, berkat usaha keras
dari siswa, kepala sekolah, guru-guru dan stakeholder, prestasi siswa beranjak mengalami
peningkatan. Pada tahun 2012, jumlah siswa yang tidak lulus hanya 1 orang.
Beberapa siswa juga juara olimpiade sehingga mewakili sekolah untuk lomba
hingga tingkat provinsi NTT.
Saya mengampu pengembangan
diri sebanyak 14 kelas ( yaitu kelas XA, XB, XC, XD, XI SOS 1, XI SOS 2, XI SOS
3, XI IPA, XI BAHASA, XII SOS 1, XII SOS 2, XII SOS 3, XII BAHASA dan XII IPA)
dengan jam tatap muka 2 jam pelajaran per kelas per minggu. Tantangan pertama saya
adalah bagaimana membuat pembelajaran yang interaktif, komunikatif dan
menyenangkan. Tantangan lainnya adalah penyesuaian dari segi bahasa. Sebisa
mungkin saya menggunakan tatanan bahasa yang mudah dipahami, walaupun logat
medok Jawa masih menempel dalam suara saya.
“Tolong rapikan kau punya baju, Nak,” tegur saya
pada seorang siswa laki-laki yang baju seragamnya dikeluarkan.
Filosofi ‘Ada
Emas di Ujung Kayu’ masih berlaku di sekolah ini. Artinya, hukuman fisik baisa
digunakan guru sebagai bentuk kasih sayang dalam mendidik muridnya. Saya tidak
bisa menyalahkan, sebab itu sudah menjadi bagian dari budaya. Namun, saya
berusaha menerapkan cara lain yang lebih mendidik saat siswa melanggar
peraturan. Misalnya, pendekatan kepada siswa, memberikan peringatan yang tegas
dan reward jika ia tidak melanggar
lagi.
Sebuah
kebahagiaan tersendiri bagi saya karena bisa berjumpa dengan siswa di hari
Senin hingga Sabtu. Membimbing mereka
meskipun fasilitas di sekolah ini masih sederhana. Demikian juga sarana
prasarananya. Kelas yang belum ada LCD proyektor dan guru menggunakan kapur
untuk menulis di papan tulis. Aliran air dari PAM juga belum sampai di sini,
sehingga sekolah mengandalkan sebuah sumur timba untuk keperluan air.
Untunglah aliran
listrik sudah tersedia 24 jam. Saat bimbingan belajar malam menjelang Ujian Nasional,
ada lampu yang berpijar menerangi mereka saat membaca di kelas pada malam hari. Di kecamatan lain di Ende, teman saya yang
mendapat penempatan di Sekolah Dasar menuturkan bahwa ruang kelasnya hanya
terbuat dari papan dan bambu. Saat membimbing siswa belajar mandiri di malam
hari, teman saya menyalakan pelita (cahaya dari lilin atau petromak) karena
ketersediaan listrik belum menjangkau dusun tersebut. Dalam kondisi yang
sederhana inilah, kami berusaha untuk membawa murid-murid melintasi ruang imajinasi
agar mereka memiliki impian yang tidak sederhana.
Kegiatan kerja bakti di sekolah. Guru dan murid turun tangan. |
Murid-murid antri mengambil air di sumur sekolah saat acara kerja bakti |
Saya bersyukur
modem yang saya miliki masih bisa tersambung dengan internet walaupun
koneksinya hilang-muncul. Laptop dan
modem ini terkadang saya jadikan sebagai media pembelajaran untuk mengenalkan
siswa dengan berita IPTEK terbaru.
Untunglah sekolah juga berlangganan sebuah koran nasional. Koran ini
sangat bermanfaat untuk membantu terlaksananya proses pembelajaran.
Impian itu Ada
Siswa semangat berdiskusi di kelas |
Siswa kelas XII, semangat belajar di kelas pada malam hari, untuk menghadapi UN 2012 |
“Nanti kalau
saya tamat, saya mau kuliah di Jawa Bu. Lalu saya kembali ke sini, untuk bangun
saya punya kampung, “ tutur Ril, murid kelas XA dengan semangat.
Lain lagi dengan
Peter. Siswa kelas XI Bahasa ini memberikan jawaban yang sedikit berbeda saat
ditanya apa cita-citanya. Jika mayoritas temannya menjawab ingin menjadi guru,
perawat, pemain bola dan pembawa acara, Peter mengatakan bahwa ia ingin menjadi
nelayan hebat seperti ayahnya.
“Saya bangga
dengan Bapak. Dia sering pulang bawa ikan sekarung, “ ungkap Peter. Ya. Dengan
hasil ikan tangkapan itulah, ayah Peter mampu menyekolahkan anaknya. Bahkan
kakak Peter kini berprofesi sebagai perawat dan guru.
Ah, lihatlah!
Meskipun mereka bersekolah di daerah yang masih tertinggal, mereka tidak ingin
tertinggal dalam hal mengejar impian. Di sinilah guru berperan untuk mengajari
siswa agar mengukir impiannya, bukan malah memandang sebelah mata atas impian
baik yang dimiliki siswa.
Guru harus
senantiasa mendorong siswa untuk giat menuntut ilmu di sekolah, sebagai gerbang
awal peraih cita. Integritas dan etos kerja yang baik tidak harus diraih dari
pekerjaan yang dianggap memiliki prestis tinggi di mata orang lain, bukan? Apapun
pekerjaan mereka kelak: perawat, guru, bidan, pilot, pedagang, petani bahkan
juragan angkutan umum-pun, keberhasilan tetap bisa diraih asalkan ada
kesungguhan. Ayah Peter yang menjadi nelayan juga bisa melakukan hal-hal luar
biasa.
Pentingnya Kolaborasi Guru dengan Pihak Sekolah dan Stakeholder
Tempaan alam dan
lingkungan membentuk karakter siswa menjadi tangguh, pekerja dan tidak manja. Dinding
belakang sekolah penempatan saya tersebut berbatasan langsung dengan pantai.
Karena letaknya yang berada di pesisir pantai, banyak orang tua murid yang
memiliki pekerjaan sebagai nelayan. Sebagian lainnya bekerja sebagai petani
ladang, berdagang, dan ada juga yang menjadi PNS walaupun jumlahnya sangat
minim. Namun, tidak semua orang tua murid berpikir bahwa pendidikan itu
penting.
Ada siswa yang
sering membolos karena disuruh orang tuanya untuk berjualan ikan. Ada juga yang
dilarang sekolah lagi karena orang tua menganggap sekolah itu kegiatan yang
sia-sia dan tidak menghasilkan uang. Padahal, dengan adanya kucuran bantuan
dana BOS dan bantuan dana lainnya, beban orang tua untuk menyekolahkan anak di
sekolah negeri jauh lebih berkurang.
Step adalah
salah satu murid yang sering membolos. Akibat sering tidak hadir tanpa alas an,
ia terancam tidak naik kelas. Setelah berunding dengan wali kelas Step, saya
memutuskan untuk mengadakan home visit ke rumah Step agar bisa menggali
informasi lebih lanjut. Di sana, saya ‘mengobrol’ santai dengan orang tua dari
Step.
“Biarlah Bu dia
bolos. Dia bolos untuk cari uang. Kalau cuma duduk-duduk saja dengar ceramah
guru dari pagi sampai siang tidak dapat apa-apa,” pinta Ibu Step sembari
memohon keringanan agar anaknya tetap naik kelas walaupun tercatat sering
membolos.
“Saya mengerti,
Bu. Tapi, tugas utamanya tetap sekolah. Dia tetap bisa membantu orang tuanya di
luar jam sekolah. Step tetap bisa naik kelas asalkan dia berjanji tidak akan
membolos lagi saat kelas XII. “
Syukurlah, orang
tua Step mau mengerti. Hari-hari selanjutnya, ia sudah kembali masuk sekolah.
Saya mengambil pelajaran bahwa sebagai agen perubahan, guru harus berkolaborasi
dengan para stakeholder guna
memecahkan permasalahan tersebut. Untuk menciptakan sebuah perubahan kondisi
pendidikan, guru harus mampu membangun relasi yang baik dengan murid, kepala
sekolah, rekan sesama profesi, komite, bahkan orang tua murid. Dengan adanya
dukungan dari stakeholder, proses
pembelajaran akan berlangsung lebih lancar.
Saya berfoto bersama murid-murid kelas XA. Mereka generasi penerus bangsa. |
Selain itu, sekolah
tidak hanya berfungsi sebagai tempat bagi guru untuk menanamkan pengetahuan
akademik kepada siswanya. Melainkan juga tempat untuk membekali mereka dengan
budi pekerti dan akhlak mulia sebagai penuntun siswa dalam melangkah saat meraih
masa depannya. Di sinilah siswa dibekali
pendidikan karakter dalam mengembangkan dirinya. Pendidikan karakter yang bersumber dari
nilai-nilai dalam Pembukaan UUD 45 dan kelima sila Pancasila. Dalam upaya mencerdaskan anak bangsa, guru juga
harus memberikan contoh yang baik dengan penerapan kode etik guru dalam
kehidupan sehari-hari.
Sulitkah mengajar di daerah 3T?
Murid saya menjadi pengibar bendera. Pengibaran Bendera Merah Putih, saat upacara 17 Agustus di lapangan kecamatan Nangapanda, Kabupaten Ende |
Tentu diperlukan
proses dan waktu untuk beradaptasi hidup di lingkungan baru pada awalnya.
Dengan latar budaya, kondisi lingkungan dan karakteristik masyarakat yang sangat berbeda. Beragam cerita, suka dan duka
adalah warna yang menghiasi kanvas kehidupan saya sehari-hari. Mulai dari
merasakan hidup sebagai kaum minoritas di lokasi yang menjunjung tinggi
toleransi beragama, merasakan indahnya menjalani ramadhan di perantauan, hingga
lebaran di tanah Ende.
Masyarakat Ende
yang mayoritas beragama Katholik begitu menghormati muslim. Untuk mengisi waktu
di sore hari, saya dan Mbak Feri (rekan sesama program SM-3T) dengan sukarela
membantu pak ustad di desa kami untuk mengajar anak-anak beragama Islam usia SD
yang mengikuti Taman Pendidikan Al-Qur’an (TPQ). Kegiatan diadakan di rumah Pak
Ustad. Menyenangkan rasanya bisa memberikan sesuatu yang bermanfaat bagi
anak-anak SD ini.
Saya dan Mbak Feri, saat mengajar di TPQ |
Di Ende, saya
belajar untuk menerapkan apa yang sudah saya dapat selama empat tahun kuliah.
Bulan-bulan berikutnya terasa lebih mudah karena saya dan teman-teman
memulainya dari hati, bukan paksaan. Hanya diperlukan kemauan untuk
mendedikasikan diri dan kesiapan untuk membantu pembangunan pendidikan di
negeri ini. Saya bangga karena bisa mengambil bagian untuk mencerdaskan
anak bangsa. Tidak masalah dengan adanya kebijakan pergantian kurikulum, karena bagi
saya berhasil tidaknya semua kembali pada guru.
Dari rekan-rekan
guru senior, saya banyak belajar saat menggali pengalaman mereka. Dari
guru-guru yang pernah membimbing saya dari TK hingga bangku SMA, saya bisa
mengambil kesimpulan bahwa menjadi guru itu juga tentang berbagi inspirasi.
Mereka, Bapak-Ibu guru, senantiasa mendampingi saya merajut asa selama di bangku
sekolah. Mereka juga menjadi jembatan
penuntun yang mengantarkan saya menuju kehidupan yang lebih baik. Dalam
memaknai kemerdekaan yang telah diraih Bangsa Indonesia, guru mengambil andil
untuk mencerdaskan anak bangsa. Hal
ini sesuai dengan yang tertera dalam Pembukaan UUD 45 alinea keempat.
Program
SM-3T masih terus berlanjut sebagai upaya pembangunan pendidikan di daerah
tertinggal. Berikut ini adalah sebuah video yang menggambarkan kisah Sri
Wahyuni, S. Pd (peserta SM-3T dari LPTK
UNNES). Beliau mendapatkan penempatan mengajar di Pisa, sebuah desa di
Kecamatan Lepembusu Kelisoke, Kabupaten Ende.
Video ini diunggah di Youtube pada 1 Februari 2014 oleh Sdr.Afifa
Megantara.
Sampai kapanpun,
Indonesia tetap membutuhkan sosok guru. Suatu kehormatan bagi saya saat
mendapatkan kesempatan untuk membangun generasi muda Indonesia bersama rekan
guru lainnya. Untuk membangun negeri, tentunya
kita tidak bisa hanya duduk berpangku tangan, berkhayal, atau mengeluarkan
protes saja. Mari tunjukkan dalam sebuah aksi positif sesuai kemampuan
masing-masing. Dan menjadi guru adalah sebuah wujud sumbangsih yang saya pilih.
Penulis Artikel Blog:
Nur Fajrina Rakhmawati
Peserta Program
SM-3T Angkatan I
Info lebih
lanjut mengenai program SM-3T dapat diakses di website DIKTI:
http://majubersama.dikti.go.id
Foto-foto yang
di-upload di postingan ini merupakan koleksi pribadi milik penulis yang diambil
pada masa penugasan di Kabupaten Ende.
Sedangkan video bersumber dari http://www.youtube.com/watch?v=6iTeqe5u6vg
.
Menjadi guru di daerah pedalaman, memang banyak tantangannya ya.... Semangat terus! :D
BalasHapusMbak Ina hebat! Itu tantangan yang bukan main-main. Ah, masih banyak insan yang mendedikasikan diri untuk kemajuan pendidikan. Mbak Ina layak disebut pahlawan. Pahlawan yang bukan tanpa tanda jasa. Pahlawan yang banyak jasa.
BalasHapusTabik!
Tidak terbayang. Bener bener hebat, 4 jempol untuk mbak
BalasHapusMasya Allah Mak .... semoga berkah dunia-akhirat dan selalu berdedikasi tinggi hingga akhir hayat ya. Salut ya padamu, Mak.
BalasHapusIna.. Keren sekali. Luar biasa kamu :) Terima kasih e buat dedikasimu untuk Flores..
BalasHapusJadi, inget cerita temen kuliah. Tapi apa pun itu, lakukan yang terbaik, demi mencerdaskan anak bangsa. Karena kalau bukan kita siapa.
BalasHapusselain tantangan yang besar tapi punya pahal yang besar mbak
BalasHapussungguh, guru itu pelita harapan bagi murid-muridnya. sebuah tantangan besar memang mbak kalo harus di daerah seperti itu, tapi semangat guru akan membangkitkan semangat murid2nya.
BalasHapusyou're the best, mbak. bisa kesana :)
Salut sekali dengan sarjana2 yang ikut SM-3T dan Indonesia Mengajar
BalasHapusMemang kenyataannya daerah2 terpinggir dan terluar itu pendidikannya jauh tertinggal.
Semoga dg pemerintahan yang baru kelak, perhatian pemerintah pada dunia pendidikan khususnya daerah 3T semakin besar. Aamiin.